Oleh: Husein Fakhrezi (Kader PMII UIN Antasari Banjarmasin)
Banjarmasin tidak sedang dilanda banjir. Namun kota ini tengah terbenam dalam krisis ekologis yang tak kalah darurat: krisis sampah. Di tengah geliat urbanisasi dan perluasan ruang kota, gunungan sampah kini menjelma sebagai simbol ketidakmampuan pemerintah mengelola ruang hidup warganya secara beradab. Sampah ada di mana-mana: mengambang di sungai, membusuk di TPS, menyusup ke selokan, bahkan mengepung pasar dan jalan perumahan.
Puncaknya, pada 1 Februari 2025, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Basirih resmi ditutup oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Alasannya jelas: praktik open dumping yang dilakukan selama bertahun-tahun telah mencemari lingkungan secara sistemik. Penutupan ini semestinya menjadi peringatan serius bahwa sistem pengelolaan sampah kita kolaps. Namun alih-alih melakukan transformasi, Pemkot Banjarmasin dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) justru terlihat gagap, kehilangan visi dan strategi.
Saat ini, Banjarmasin menghasilkan lebih dari 600 ton sampah per hari. Namun setelah ditutupnya TPA Basirih, hanya sekitar 100 ton yang mampu diangkut ke TPA regional Banjarbakula di Banjarbaru. Sisanya? Menumpuk di TPS liar, terbengkalai di bak kontainer, atau dengan pelan tapi pasti dibuang ke sungai.
Retorika Hijau yang Kosong
Dalam berbagai pidato dan pemberitaan, Pemkot dan DLH kerap membanggakan program seperti bank sampah, kampanye pilah dari rumah, dan pengurangan kantong plastik. Tetapi data menunjukkan realita yang mencemaskan: dari ratusan ton sampah harian, hanya sekitar 41 ton yang diproses melalui program pemilahan. Artinya, kurang dari 7 persen sampah berhasil dipilah dan diolah, sisanya tetap berakhir di TPA atau tercecer di lingkungan.
Padahal, sejak 2019 Banjarmasin pernah menjadi pelopor pelarangan kantong plastik. Waktu itu, langkah progresif ini dipuji nasional. Namun hari ini, plastik kembali bebas berkeliaran di pasar, toko, hingga warung kaki lima. Tidak ada pengawasan. Tidak ada evaluasi. Tidak ada keberlanjutan. Kebijakan hanya berhenti sebagai seremonial.
DLH Banjarmasin pun menghadapi tantangan struktural serius. Anggaran pengelolaan sampah tahun 2024 mencapai sekitar Rp60 miliar, tetapi beban operasional—seperti tipping fee Rp65.000 per ton ke TPA Banjarbakula dan biaya ritasi hingga Rp500.000 per angkutan—membuat kinerja DLH tidak efisien. Pendapatan dari retribusi sampah hanya sekitar Rp15 miliar per tahun, jauh dari cukup. Belum lagi soal buruknya kondisi armada, kurangnya sopir, serta ketidakterpaduan sistem informasi dan pengawasan.
Layanan DLH pun tidak merata. Di daerah pinggiran seperti Sungai Lulut, Alalak, dan Kelayan, warga mengeluhkan keterlambatan angkut sampah hingga lima hari lebih. Sampah menumpuk, warga frustrasi. Ketika pemerintah tidak hadir dalam urusan publik yang paling dasar, maka legitimasi kekuasaannya pun dipertanyakan.
Menakar Tingkat Keberhasilan
Jika harus diukur secara objektif, tingkat keberhasilan Pemkot dan DLH dalam mengelola sampah saat ini tergolong rendah. Tidak ada integrasi antarkebijakan, tidak ada inovasi kelembagaan, tidak ada kemajuan signifikan dari sisi layanan maupun pengurangan volume sampah. Justru yang tampak adalah pola kerja darurat, tanpa skenario jangka panjang.
Pemkot terkesan hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya. Sampah hanya dianggap soal teknis angkut dan buang, bukan bagian dari perencanaan kota berkelanjutan. Padahal, kota-kota seperti Surabaya atau Bandung telah jauh melangkah: membangun ekosistem partisipatif, memperkuat sektor informal, bahkan memanfaatkan teknologi digital untuk pelaporan dan edukasi.
Banjarmasin sebaliknya masih mengandalkan logika “angkut-lenyap”, sebuah pendekatan yang usang dan tidak manusiawi. Tidak ada langkah sistemik untuk mendorong ekonomi sirkular. Tidak ada insentif bagi industri pengolahan. Bahkan kerja sama dengan pihak swasta dan perguruan tinggi pun minim. Semua seperti berjalan sendiri-sendiri, tanpa peta jalan yang jelas.
Kota Tanpa Imajinasi
Krisis sampah sejatinya adalah krisis imajinasi. Kota ini kehilangan daya bayangannya terhadap masa depan. Banjarmasin adalah kota sungai, kota yang menjual diri sebagai destinasi ekowisata. Namun faktanya, sungai yang dulu jadi urat nadi kini berubah menjadi saluran limbah. Sampah plastik menyatu dengan lumpur dan sisa makanan. Ikan mati. Air beracun. Dan pemerintah masih sibuk menyusun program-program yang tidak menyentuh akar persoalan.
Yang lebih menyedihkan, semua ini terjadi di hadapan warga yang semakin apatis. Ketika sampah dibiarkan menggunung di TPS liar, ketika warga menutup hidung setiap melintas, ketika anak-anak bermain di dekat limbah busuk, maka itu artinya kota ini telah kehilangan rohnya. Kita tak lagi membangun kota, melainkan membiarkannya hancur perlahan.
Ironisnya, pembangunan fisik justru terus digencarkan. Flyover dibangun, taman dipercantik, lampu jalan diganti. Tapi di sisi lain, masalah sampah tak kunjung ditangani. Ini bukan semata kekeliruan teknis, melainkan kegagalan dalam menentukan skala prioritas pembangunan.
Butuh Kepemimpinan Berani
Solusi dari semua ini bukan semata membangun TPA baru di Barito Kuala, seperti yang kini dirancang Pemprov Kalsel. Tanpa reformasi dari hulu ke hilir, TPA baru hanya akan menjadi kuburan limbah yang lain. Kita butuh kepemimpinan yang berani: berani mengubah sistem, berani menegakkan aturan, berani mengajak warga berpikir dan bertindak sebagai bagian dari solusi.
DLH perlu didorong untuk membangun sistem digitalisasi pengelolaan sampah, memfasilitasi sektor informal, dan memperluas edukasi ke tingkat RT dan sekolah. Pemkot harus mulai memikirkan regulasi yang berbasis insentif dan disinsentif, bukan sekadar larangan. Di atas itu semua, kita butuh visi kota yang mengusung prinsip keadilan ekologis, bukan sekadar estetika kosmetik.
Sampah bukan hanya masalah teknis. Ia adalah persoalan politik, etika, dan masa depan. Kota yang gagal mengelola sampah adalah kota yang gagal membangun peradaban. Jika kita tidak bertindak sekarang, maka yang akan kita wariskan pada generasi berikutnya bukanlah taman-taman indah, melainkan gunungan sampah yang tak kunjung selesai diurai.