"Negara yang besar bukan diukur dari luasnya wilayah, tapi dari sejauh mana ia menghormati martabat wilayah-wilayahnya."
Pada 10 Mei 2024, Kementerian Dalam Negeri RI secara resmi menetapkan 4 pulau terluar di Aceh Pulau Rondo, Pulau Benggala, Pulau Bras, dan Pulau Malik masuk ke dalam wilayah administrasi Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar. Namun Empat pulau yang kini masuk wilayah Sumut itu melalui keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam mendukung klaim Gubernur Sumut Bobby Nasution lewat Keputusan Mendagri yang terbit pada 25 April 2025 lalu. Keputusan itu soal Polemik 4 Pulau Aceh-Sumut Diumumkan. Sepintas ini terlihat seperti langkah penyempurnaan tata kelola. Tapi jika ditelisik lebih dalam, keputusan ini menoreh luka filosofis, melanggar etika historis, dan bisa dikritisi secara yuridis.
Aceh Bukan Sekadar Wilayah, Tapi Wilayah Bermartabat. Aceh bukan hanya provinsi biasa. Sejarah mencatat bahwa Aceh adalah wilayah kerajaan berdaulat bahkan sebelum Indonesia merdeka. Ketika Republik ini belum terbentuk, Aceh sudah punya sistem hukum, pemerintahan adat, dan jaringan dagang internasional.
Ketika Indonesia butuh dukungan militer dan logistik awal kemerdekaan, Acehlah yang menyumbangkan pesawat pertamanya RI-001 dan RI-002.
Namun, setelah itu yang diterima Aceh bukanlah penghargaan, melainkan peminggiran. Sentralisasi pemerintahan Orde Baru mengabaikan karakteristik dan aspirasi lokal Aceh. Puncaknya, konflik bersenjata meletus antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah pusat selama puluhan tahun.
Kesepakatan damai Helsinki (2005) akhirnya menjadi jalan tengah. Dalam MoU itu, Aceh diberi Otonomi Khusus sebagai bentuk rekonsiliasi.
Kalau kita bicara secara hukum, penetapan wilayah administratif di Aceh bukan hanya kewenangan pusat. Ada dasar hukum yang memperjelas itu: 1. MoU Helsinki Pasal 1.1.2: “Aceh memiliki wewenang untuk menetapkan dan mengelola wilayah administratifnya sendiri secara internal.”
2. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA):
Pasal 8 (2): Aceh berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor kecuali urusan luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
Pasal 19: Penetapan batas wilayah Aceh dilakukan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh, bukan sepihak.
Jadi jika Kemendagri mengambil keputusan sepihak tanpa mekanisme konsultasi dan koordinasi dengan Pemerintah Aceh, maka itu berpotensi melanggar UUPA dan semangat MoU Helsinki.
Wilayah Adalah Identitas, Bukan Sekadar Petak Tanah
Filsuf Prancis Michel Foucault pernah mengatakan bahwa ruang bukanlah entitas kosong, tetapi memiliki makna politik dan historis yang melekat. Dalam konteks Aceh, pulau-pulau itu bukan hanya titik koordinat, tapi bagian dari identitas geografis dan kebanggaan wilayah.
Penetapan yang tidak partisipatif sama saja dengan mereduksi makna wilayah sebagai objek kekuasaan semata padahal ia adalah subjek sejarah dan simbol martabat. Jika negara masih memaksa tafsir tunggal soal wilayah, lantas apa arti otonomi? Apa arti rekonsiliasi jika perjanjian damai dilanggar diam-diam oleh birokrasi?
Penetapan sepihak ini adalah:
Cacat yuridis karena mengabaikan peran Pemerintah Aceh sesuai UU dan MoU.
Cacat historis karena melupakan latar belakang konflik dan proses damai yang penuh luka.
Cacat filosofis karena tidak melihat wilayah sebagai entitas yang hidup dan bermartabat.
Kemendagri harus bukan hanya merevisi prosedur, tetapi juga paradigma. Negara tak boleh lagi melihat daerah hanya sebagai perpanjangan tangan pusat, apalagi daerah yang punya sejarah perlawanan dan rekonsiliasi seperti Aceh.
Ane bukan karena benci negara ini, tapi karena cinta yang kritis adalah satu-satunya bentuk cinta yang jujur. Kalau kita biarkan satu per satu kesepakatan dilanggar atas nama “efisiensi administrasi”, maka perlahan, kita sedang menggali liang kubur untuk kepercayaan publik terhadap negara.