Oleh: Husein Fakhrezi (Kader PMII Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin)
Setiap kali 1 Juni datang, para elite membacakan Pancasila dengan lantang. Mereka berdiri tegak di podium-podium kehormatan, mengenakan jas terbaik, mengumandangkan lima sila yang sakral itu. Tapi di luar pagar upacara, jutaan rakyat mengernyit: apa arti keadilan sosial jika pekerjaan mereka dirampas, dan negara memilih bungkam?
Tahun 2025 menampilkan wajah Pancasila yang retak. Data resmi mencatat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang membengkak, angka pengangguran yang naik, dan kesenjangan sosial yang menganga. Sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” bukan lagi visi kebangsaan, melainkan ilusi yang dipertontonkan di ruang-ruang seremoni.
Gelombang PHK yang Brutal
Awal tahun dibuka dengan kabar suram dari dunia kerja. Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan bahwa 3.325 pekerja di-PHK pada Januari 2025, dengan DKI Jakarta menyumbang 2.650 kasus, atau hampir 80 persen dari total nasional. Pada Februari, lonjakannya brutal: 18.610 pekerja diberhentikan, hampir lima kali lipat dari bulan sebelumnya. Data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) lebih mencemaskan sekitar 40.000 pekerja kehilangan pekerjaan hanya dalam dua bulan pertama tahun ini.
Mereka bukan sekadar angka dalam statistik. Mereka adalah kepala keluarga, pencari nafkah, manusia-manusia produktif yang mendadak didepak dari roda ekonomi. Sebagian besar berasal dari sektor manufaktur, tekstil, logistik, hingga startup digital. Penyebabnya beragam: efisiensi perusahaan, pelemahan daya beli, pemindahan pabrik ke luar negeri, dan perubahan arah investasi yang belum siap ditanggung para pekerja.
Bagi buruh kontrak dan pekerja informal, tidak ada pesangon, tidak ada jaminan pasca kerja. Yang tersisa hanya antrean panjang di dinas tenaga kerja, dan harapan yang kian pudar.
Pengangguran dan Bayang-bayang Kemiskinan
Gelombang PHK ini langsung berkontribusi pada peningkatan angka pengangguran terbuka. Badan Pusat Statistik mencatat angka pengangguran pada Februari 2025 sebesar 7,28 juta orang, naik 83.000 dari tahun sebelumnya. Di tengah angka itu, kelompok usia muda (15–24 tahun) tetap menjadi yang paling rentan sebuah ironi di tengah narasi “bonus demografi” yang kerap digembar-gemborkan pemerintah.
Sementara itu, kemiskinan struktural belum berhasil diberantas. Sebanyak 25,9 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, dan rasio gini tetap stagnan di angka 0,388, menandakan ketimpangan yang bertahan. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang diklaim positif tidak menetes ke bawah melainkan menguap di atas. Sektor formal melemah, UMKM tercekik, dan kebutuhan pokok terus melonjak.
Kemiskinan hari ini bukan hanya soal tak punya uang. Ia adalah wajah dari keterbatasan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan jaminan sosial. Ia adalah cerita tentang generasi yang harus berhenti sekolah karena orang tuanya kehilangan pekerjaan. Tentang rumah tangga yang terpaksa mengurangi asupan makan karena harga beras tak terjangkau. Tentang mereka yang hidup di sela-sela janji negara yang tak kunjung ditepati.
Peningkatan pengangguran juga memperlihatkan wajah paradoks pendidikan nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025, mayoritas penganggur justru berasal dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang mencapai 8,9 persen, tertinggi di antara jenjang pendidikan lainnya. Lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) menyusul dengan tingkat pengangguran sebesar 6,6 persen, lalu lulusan Diploma sebanyak 5,5 persen, dan Sarjana (S1) sebesar 4,3 persen.
Data ini menunjukkan ironi besar: semakin tinggi pendidikan, tidak selalu menjamin akses ke pekerjaan yang layak. Sistem pendidikan kita gagal menjawab kebutuhan industri, dan pasar kerja nasional belum mampu menyerap tenaga kerja terdidik. Lulusan perguruan tinggi menghadapi realitas bahwa ijazah mereka tak menjamin apa-apa di hadapan ekonomi yang makin tidak berpihak. Yang tersisa adalah generasi terdidik yang frustrasi, kehilangan arah, dan menanggung beban sosial yang tak kecil.
Negara Sibuk Pencitraan
Ironisnya, saat rakyat menderita, negara justru sibuk membagikan harapan dalam bentuk program populis. Salah satunya, Program Makan Bergizi Gratis yang menyasar 82,9 juta anak sekolah dan ibu hamil, dengan kebutuhan tambahan anggaran mencapai Rp100 triliun. Pemerintah berdalih, program ini penting untuk menurunkan angka stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Tak ada yang salah dengan upaya memperbaiki gizi anak. Yang keliru adalah pendekatannya yang temporer, tidak sistemik, dan sarat kepentingan politik. Program ini dirancang terburu-buru menjelang Pemilu dan Pilkada, tanpa evaluasi menyeluruh atas efektivitasnya. Sementara itu, program pemulihan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan perlindungan terhadap korban PHK nyaris tak mendapat perhatian yang setara.
Kita melihat negara yang ingin terlihat baik, bukan benar-benar bertindak baik. Negara yang lebih tertarik membangun kesan di media sosial, ketimbang hadir di tengah rakyat yang sedang kelaparan. Inilah bentuk paling telanjang dari pengkhianatan terhadap Pancasila.
Pancasila : Simbol yang Terpinggirkan?
Peringatan Hari Lahir Pancasila seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi arah kebijakan negara. Apakah sila-sila itu masih menjadi pedoman moral dan politik kebangsaan, atau hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan? Dalam situasi seperti sekarang, sila kelima layak dipersoalkan. Bukan karena ia keliru, tapi karena tak pernah benar-benar dijalankan.
Keadilan sosial bukan berarti semua orang mendapat makan siang gratis. Ia berarti sistem ekonomi yang adil, perlindungan terhadap kelompok rentan, distribusi kekayaan yang merata, dan negara yang berpihak pada rakyat kecil dalam setiap keputusan strategisnya. Tanpa itu, Pancasila hanya akan menjadi perayaan simbolik, kehilangan makna dalam kehidupan nyata.
Pancasila lahir dari rahim penderitaan rakyat. Ia bukan produk seminar, bukan hasil polling, bukan pula sekadar konsensus elite. Ia adalah ikhtiar untuk menyatukan bangsa ini dalam semangat kesetaraan dan keadilan. Maka, mencederai sila kelima sama dengan mencederai seluruh jiwa Pancasila.
Hari ini, rakyat tidak butuh seremoni. Mereka butuh kehadiran negara yang konkret. Bukan negara yang bersembunyi di balik baliho dan program instan, tetapi negara yang membela pekerja, menjamin penghidupan, dan memulihkan martabat manusia.
Jika tidak, Pancasila akan terus dibaca. Tapi tidak lagi didengar.
Referensi
1. Detik Finance (2025). Awal 2025, Ada 3.325 Korban PHK, Paling Banyak di Jakarta.
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7809637
2. Katadata (2025). Jumlah PHK Naik Hampir 5 Kali Lipat.
https://katadata.co.id/berita/industri/67f9070795ca9
3. Apindo (2025). 40.000 Pekerja Kena PHK di Januari-Februari.
https://apindo.or.id/id/news
4. BPS (2025). Pengangguran Naik Jadi 7,28 Juta Orang.
https://www.bps.go.id/publication
5. BPS (2025). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2025.
https://www.bps.go.id/publicationi
Editor: Fikri Haekal Akbar