Aku muak. Muak melihat layar demi layar berita-berita yang hanya berisi gonjang-ganjing politik tanpa arah, gaduh tanpa substansi. Sistem pemerintahan yang katanya demokratis ini, kini seperti panggung sandiwara murahan yang diperankan oleh aktor-aktor haus kekuasaan. Satu per satu isu nasional mencuat dari kasus korupsi, regulasi yang timpang, sampai pelanggaran hak rakyat bahkan hingga persoalan ijazah saja makin melebar kemana-mana. Sosok yang sebagai pelayan harunya melayani malah seakan berbanding terbalik meminta untuk di layani. semuanya hanya jadi headline sesaat. Esoknya tenggelam, dilupakan, dan digantikan oleh isu remeh temeh lainnya.
Yang lebih menyakitkan adalah sunyinya suara masyarakat. Bukan karena tidak tahu, tapi karena makin dibungkam, makin ragu untuk bersuara. Organisasi-organisasi yang dulu menjadi tulang punggung kritik sosial kini berubah arah. Bukan lagi mitra kritis pemerintah, tapi mitra dekat, mitra nyaman. Segelintir orang dalam kepengurusan organisasi lebih sibuk membangun akses ke kekuasaan ketimbang membangun keberpihakan pada rakyat. Mereka lebih memilih jabatan, proyek, atau foto bersama pejabat ketimbang mengkritisi kebijakan yang menyengsarakan masyarakat.
Hingga pada akhirnya yang tak terlibat dipaksakan untuk masuk dalam sistem yang jelas jalannya semakin lama semakin buyar tak bermakna. (Lingkaran Setan)
Kita tidak hanya kehilangan suara, tapi juga kehilangan arah. Dulu, organisasi masyarakat dan lembaga perwakilan seperti DPR berdiri atas nama rakyat, dengan semangat memperjuangkan aspirasi. Kini, arah perjuangannya berubah tidak lagi ke bawah, tapi ke atas. Kepengurusan dijadikan batu loncatan, bukan perjuangan. Siapa yang paling dekat dengan kekuasaan, dialah yang dianggap paling sukses. Bukan karena program kerja yang berdampak, tapi karena kedekatan politik dan pencitraan di media sosial.
Ketika kritik pun harus disesuaikan dengan kepentingan pribadi atau kelompok, lalu untuk apa lagi kita berbicara tentang keadilan? Ketika suara-suara sumbang dipelintir menjadi suara benci, siapa yang masih berani menyuarakan kebenaran?
Aku muak. Karena negeri ini tidak kekurangan masalah, tapi kekurangan nyali untuk menghadapinya. Tidak kekurangan penderitaan rakyat, tapi kekurangan keberanian untuk menyuarakan deritanya. Dan jika semua hanya berpura-pura, atas nama stabilitas dan harmonisasi semu, maka jangan heran jika satu-satunya yang tumbuh subur adalah keputusasaan.
Tapi sampai kapan kita diam?