Oleh: Ghina Hastutie, M.Pd (Koor; Biro Komunikasi dan Hubungan Pesantren dan Lintas Agama PC PMII Kota Banjarmasin)
Idul
Adha adalah titik balik untuk memperbaiki relasi kita dengan Allah, sesama
manusia, dan lingkungan. Ini adalah panggilan untuk mencintai secara lebih
dalam, memberi secara lebih luas, dan hidup secara lebih bermakna. Perayaan ini
mengajarkan kita bahwa membangun peradaban Islam tidak bisa hanya mengandalkan
doktrin atau kekuasaan, tetapi harus disertai nilai pengorbanan, cinta kasih,
dan ketulusan.
Setiap
tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam di seluruh dunia merayakan Hari Raya Idul
Adha, hari besar yang tidak hanya sarat dengan makna ibadah, tetapi juga penuh
dengan refleksi spiritual, nilai-nilai kemanusiaan, serta pesan kuat tentang
cinta dan pengorbanan. Dalam Islam, Idul Adha bukan sekadar ritual tahunan,
melainkan bagian dari proses panjang pembentukan karakter umat dan pembangunan
peradaban Islam yang holistik—baik dari sisi akidah, akhlak, maupun kehidupan
sosial.
Kisah Nabi Ibrahim dan Nilai Pengorbanan yang
Abadi
Perayaan
Idul Adha berakar dari kisah monumental Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi
Ismail AS, yang menjadi teladan kepada
kehendak Allah SWT. Saat diperintahkan untuk mengorbankan anak kesayangannya,
Nabi Ibrahim tidak mendahulukan logika manusiawi atau perasaan pribadi,
melainkan sepenuhnya taat kepada Tuhan. Begitu pula dengan Nabi Ismail, yang
menunjukkan kerelaan luar biasa untuk menjadi bagian dari rencana ilahi.
Sebagaimana
ditegaskan dalam QS. Ash-Shaffat ayat 102-107, kisah ini bukanlah sekadar
dongeng atau simbolisme belaka. Ia adalah landasan teologis dan moral yang
menggambarkan bentuk cinta tertinggi: cinta kepada Sang Pencipta, serta
kesiapan untuk mengorbankan segala bentuk kemelekatan duniawi demi nilai-nilai
ilahiyah.
Kurban sebagai Jalan Mewujudkan Solidaritas
Sosial
Salah satu wujud konkret dari ajaran pengorbanan ini
adalah pelaksanaan ibadah kurban. Hewan ternak yang disembelih bukan hanya
menjadi lambang ketaatan spiritual, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen
distribusi kekayaan dan kepedulian sosial. Seperti disebutkan dalam QS. Al-Hajj
ayat 36-37 menjelaskan
tentang makna ibadah kurban dan betapa pentingnya ketakwaan di sisi Allah.
Daging dan darah hewan kurban tidak akan sampai kepada Allah, melainkan
ketakwaan dari hati yang akan sampai. Allah menundukkan hewan kurban untuk
manusia agar mereka mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya dan agar mereka
bersyukur atas nikmat yang diberikan.
Dalam konteks sosial kontemporer, ibadah kurban menjadi
salah satu bentuk ibadah sosial yang paling nyata. Pelaksanaan kurban secara
kolektif mampu memperkuat nilai-nilai gotong royong, solidaritas, dan inklusi
sosial, khususnya di wilayah pedesaan dan masyarakat pinggiran. Proses
penyembelihan, distribusi, dan konsumsi daging kurban menjadi ajang mempererat
hubungan antarwarga dan memperkecil jurang sosial antara si kaya dan si miskin serta menumbuhkan semangat berbagi ditanamkan
dalam pelaksanaan kurban.
Cinta yang Membebaskan: Dimensi Emosional dan
Budaya
Idul Adha tidak hanya mengajarkan ketaatan, tetapi juga
cinta yang membebaskan. Dalam arti ini, cinta kepada Allah harus melampaui
cinta kepada manusia, harta, jabatan, bahkan keluarga. Namun bukan berarti
cinta duniawi itu diabaikan, melainkan diarahkan dan ditundukkan untuk meraih
cinta yang lebih tinggi: cinta Ilahi.
Cinta seperti inilah yang menjadi fondasi lahirnya
peradaban Islam. Sebuah peradaban yang dibangun bukan dengan paksaan, melainkan
dengan kasih sayang, keadilan, dan pengorbanan. Jika cinta dalam Islam dipahami
secara mendalam, maka umat ini akan menjelma menjadi rahmat bagi semesta alam.
Momentum
Menyambung Tali Ukhuwah dan Memperkuat Persatuan
Dalam suasana Idul Adha, perbedaan kelas sosial dan
status ekonomi tampak menghilang. Semua umat Islam, merayakan hari yang sama,
melaksanakan shalat berjamaah di tempat terbuka, dan merasakan berkah dari
daging kurban yang dibagikan secara merata. Inilah momen menyatunya ukhuwah
Islamiyah dalam arti yang sebenarnya.
Penguatan identitas komunitas dan penyatuan masyarakat melalui ibadah kurban menjadi aspek penting yang sering terabaikan. Ketika ibadah dijalankan tidak hanya secara personal tetapi juga sosial, maka keberagamaan kita menjadi lebih utuh, tidak tercerabut dari realitas sekitar.
Mari jadikan Idul Adha bukan hanya perayaan
seremonial tahunan, tetapi sebagai awal dari perubahan spiritual dan sosial
yang nyata—di dalam keluarga, masyarakat, bahkan dalam skala peradaban global.
Referensi:
- NU Online. “Idul Adha:
Peradaban Islam dan Cinta.”
- BAZNAS
Jabar. “Panduan Mengetahui Hari Raya Idul Adha 2025.”
- MUI.or.id. “Idul Adha dan 5
Hikmah Agung Syariat Qurban.”
- Sulidar,
Jurnal Studi Sosial Keagamaan dan Budaya, 2023. "Nilai Sosial
dan Kultural dalam Ibadah Kurban."